PEMERINTAHAN - Bayangkan sebuah negeri kaya raya, dengan tanah subur yang mampu menumbuhkan segala jenis tanaman, laut yang penuh ikan, dan tambang yang menggenggam emas. Tapi, di balik kekayaan itu, ada ironi besar: negeri ini seperti kapal megah yang bocor di mana-mana karena awak kapalnya sibuk berebut emas daripada menambal kebocoran. Negeri itu bernama Indonesia, dan para pejabatnya—ah, sebut saja mereka “aktor-aktor piawai dalam seni retorika”—hanya pandai berkata-kata manis tanpa hasil nyata.
Berantas Korupsi: Narasi Tanpa Aksi
"Korupsi adalah musuh utama bangsa!" teriak seorang pejabat dengan penuh semangat di depan mikrofon. Tepuk tangan menggema, rakyat berbisik penuh harap. Tapi, apa yang terjadi di balik layar? Pejabat yang sama justru terlihat merapatkan proposal "bagi hasil" dengan kolega-koleganya, memastikan bahwa proyek pemerintah berjalan sesuai “jalur pribadi”. Sebuah ironi, bukan? Narasi pemberantasan korupsi hanya menjadi pemanis bibir, sementara rakyat tetap menelan pahitnya kebocoran anggaran.
Baca juga:
Hendri Kampai: Menjaga Euforia Harapan
|
Berantas Judi: Janji yang Tak Pernah Ditepati
"Judi adalah penyakit masyarakat!" kata mereka. Tapi, tunggu dulu—ketika lokasi judi online diobrak-abrik, ternyata jaringan servernya terhubung dengan seseorang yang tidak asing di lingkaran elite pemerintahan. Janji memberantas judi? Hanya ucapan kosong. Seperti penjual mimpi di pinggir jalan, yang menawarkan surga tapi tak pernah menunjukkan jalan ke sana.
Berantas Narkoba: Ketika Tikus Mengawal Lumbung Padi
Narkoba menjadi momok, menghancurkan generasi muda. "Kami akan berantas sampai ke akar-akarnya!" ujar pejabat dengan mata menyala-nyala. Tapi di belakang, siapa yang menikmati hasil dari peredaran narkoba itu? Ternyata oknum-oknum yang seharusnya menjadi garda depan justru menjadi penggeraknya. Ibarat tikus yang diberi tugas menjaga lumbung padi, rakyat hanya bisa mengelus dada melihat lumbung semakin kosong.
Berantas Pinjol: Ketika Pemiliknya Adalah Mereka Sendiri
Pinjaman online ilegal, dengan bunga mencekik dan ancaman mengerikan, telah membuat banyak rakyat kehilangan segalanya. Pejabat lantang menyebut, "Kami akan memberantas pinjol ilegal hingga tuntas!" Tapi, siapa yang berdiri di belakang bisnis ini? Lagi-lagi, nama-nama besar muncul. Mereka yang bersumpah melindungi rakyat justru menjadi pemilik bisnis yang menindas. Apa yang tersisa untuk rakyat? Utang yang terus bertumpuk, sementara para elit tersenyum lebar menghitung laba.
Retorika yang Mengikis Negeri
Pada akhirnya, apa yang tersisa dari semua janji ini? Retorika tanpa tindakan. Narasi tanpa solusi. Indonesia yang seharusnya berdiri gagah sebagai macan Asia justru terkulai lemah karena beban janji-janji yang tak pernah ditepati. Pejabat tidak jujur bukan sekadar masalah moral, tetapi ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa. Retorika memang bisa memukau, tapi tidak pernah bisa menggantikan aksi nyata.
Dan kita, rakyat biasa, hanya bisa berharap: semoga suatu hari nanti, ada pemimpin yang lebih memilih bekerja daripada beretorika. Karena negeri ini terlalu berharga untuk terus dirusak oleh ketidakjujuran dan janji-janji palsu. Kalau tidak, mungkin benar kata pepatah lama: “Indonesia tidak hancur karena musuh dari luar, tetapi karena pengkhianatan dari dalam.”
Jakarta, 20 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi